Tentang Kopi

tips membuat wedang teh (tea) dan kopi (coffee)

kami berdua

walimatul 'ursy timur tengah

Cinta Suci

Ingin kukatakan arti cinta kepadamu, Dinda.

berawal dari taaruf

Sore senja jingga menupuk tangan Indah nampak elok menyebar cakrawala bumi yang luas

Arkan Dian Husnayan

Mujahid Kecil Kami

Monday, March 23, 2009

Pemilih Golput ?


oleh Dr. Dharsono, MSn-Abiyasa Father)


Sejumlah pemilih yang tidak akan menggunakan hak suaranya atau dikenal dengan istilah golongan putih (golput) untuk Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 akan tetap tinggi (Antara News 2008). Berberapa prediksi dari berbagai informasi publik dan diprediksikan angka golput akan melampau angka 40% dengan berbagai berbagai alasan penyebab tingginya angka golput. Kaum muda sering dicap dan sering diidentikkan dengan golput. Anggapan sementara boleh saja dianggap wajar, mengingat memang kaum muda yang lebih sering menyuarakan sikap skeptis terhadap pemilu. bahkan apatis mereka bergulir ketika tolok ukur efektifitas pemilu merupakan instrumen demokrasi Para politisi sendiri, kerap melihat kaum muda sebagai sumbernya swing voters, potensi suara yang dianggap longgar terhadap kesetiaan idiologi politiknya.

Yang lebih memprihatinkan adalah kecenderungan eskalasi fenomena kekerasan di kalangan kaum muda lebih mencolok. Luapan emosional kaum pemuda sebagai ketidakercayaan atas proses dan mekanisme politik yang ada, dan ketika kaum muda merasa tidak menemukan saluran yang ideal untuk berbagai persoalan yang dirasakan di sekelilingnya.

Sayangnya kepentingan-kepentingan politik, lebih sering dikelola sebagai hidden agenda yang diselesaikan secara di bawah tangan. Pemilu sebagai sebuah peristiwa transaksi kepentingan politik belum bisa dielaborasi secara maksimal. Sering kali pemilu hanya menjadi ajang transaksi kepentingan dukungan suara bagi aktor politik di satu sisi, itu yang menyedihkan karena suara mereka bukan lagi suara hati nurani, melainkan hanya selembar uang kertas.

Sayangnya, partai politik yang memiliki kewajiban untuk melakukan pendidikan pemilih sebagaimana diatur dalam UU No 2 tentang partai politik, belum mampu menjalankan kewajiban tersebut dengan sepenuh hati. Partai politik cenderung hanya menjadikan masyarakat sebagai obyek kampanye untuk mendulang suara tanpa memberikan pendidikan politik yang memadai kepada masyarakat. Akibatnya, masyarakat hanya memahami pemilu sebagai ajang pemilihan anggota legislatif atau eksekutif. Tanpa memahami hakikat pemilu sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang akan menentukan kemana bangsa ini akan menuju.

Thursday, March 19, 2009

Pemilu Bukan Sekedar Pesta Demokrasi


(oleh Dr. Dharsono, MSn-Abiyasa's Father)

Pemilu seyogyanya tidak dimaknai sekedar pesta demokrasi. Pemilu akan banyak menghabiskan sumberdaya dan menguras energi bangsa. Pemilu pada dasarnya merupakan sebuah peristiwa kritis, sebuah langkah yang cukup menentukan, ketika negara dan bangsa menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat atas kuasanya kepada representasi yang dipandangnya sebagai amanah, karena suara rakyat adalah suara Tuhan (artinya tidak terbeli oleh uang). Sehingga akan sangat disayangkan, ketika tingkat partisipasi pada sebuah pemilu berada pada titik yang tidak signifikan. Karena tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilu, secara logis menjadi salah satu indikator legitimasi pemerintahan yang akan datang.

Namun tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat partisipasi masyarakat secara kuantitatif menjadi proksi yang masuk akal untuk mengukur tingkat keberhasilan penyelenggaraan pemilu. Tingkat partisipasi secara kualitatif sebenarnya merupakan indikator yang lebih esensial untuk sebuah pemilu yang efektif. Ketika fenomena pemilihan banyak pemilih yang menentukan pilihannya secara asal pilih, maka akibatnya dapat menjadi lebih terpuruk dibanding rendahnya partisipasi masyarakat. Inisiatif untuk memastikan tingginya tingkat partisipatif sebaiknya diimbangi dengan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas partisipasi publik.