Monday, July 12, 2010

CINTA SUCI MENUJU PERNIKAHAN



by Fathimatul Azizah

“Mbak, menjadi hafidzah itu mudah tidak?”

Pertanyaan seorang adik dalam sebuah kesempatan, membuat saya terhenyak malu. Saya tercatat sebagai seorang santri yang sangat payah dalam urusan menghapal Al-Quran. Tak ada progress yang menunjukkan perkembangan, justru hari demi hari mengalami penurunan. Diam-diam, saya pun beristighfar dalam hati. Takut menjawab dengan teori yang saya sendiri masih nol dalam aplikasi.


Mengapa tiba-tiba adik mengajukan pertanyaan seperti itu?

Usut punya usut ternyata ada seorang laki-laki yang hendak meminangnya sebagai seorang istri. Laki-laki itu teman guru ngajinya saat SMA. Dan katanya, ia berniat mengajak ‘adik’ saya untuk mengelola sebuah pesantren. Syaratnya ia mau menjadi seorang hafidzah.

“Asalkan baik, prosesnya tidak melanggar syariat dan adik telah siap, mengapa tidak?” sebuah jawaban diplomatis coba saya berikan. Meski saya tak yakin dengan apa yang saya katakan.

Namun rupanya banyak sekali kejanggalan. Laki-laki itu sering mengirimi SMS dan telepon yang tak jelas jluntrungannya. Apakah laki-laki seperti itu bisa disebut laki-laki yang baik?

Akhirnya saya hanya bisa memberinya warning, jangan sampai ia terjebak. Bagaimana mungkin bisa menilai kebaikan seseorang sedang bertemu saja belum pernah. Apakah ta’aruf cukup dilakukan di dunia maya –lewat telp, SMS, atau chatting-? Lantas, Apa bedanya dengan membeli kucing dalam karung?

Entahlah. Saya tak berani banyak berkomentar. Saya sendiri pernah trauma dan tak ingin terjebak dengan hal-hal seperti itu. Bagaimanapun, berinteraksi dengan lawan jenis tidak boleh berlebihan sehingga seolah-olah membuka hijab antara keduanya. Mungkin kita sudah sangat mengerti akan hal itu, namun jangan pernah remehkan syaitan yang ada di sekitar kita. Saya pun menceritakan pengalaman beberapa bulan yang telah lalu.

Saya pernah berinteraksi dengan seorang al-akh di luar pulau. Bertemu saja belum pernah. Kami hanya berkomunikasi dengan telepon atau SMS. Saling tukar informasi tentang perkembangan dakwah. (Wuiih..) Awalnya semua berjalan biasa-biasa saja. Namun saya menangkap sesuatu yang aneh di akhir-akhir ia telepon. Ia menanyakan tentang jumlah binaan, aktivitas, background keluarga dan hal-hal yang menurut saya lebih seperti introgasi. Emangnya siapa dia? Ia pun bertanya kapan saya lulus. Ini sudah kelewatan, pikir saya. Namun saya yang ‘pekewuhan’ seringkali kesulitan untuk mengakhiri pembicaraan.

Beberapa saat berikutnya ia mengabari saya bahwa ia sudah ‘berproses’ dengan seorang ukhti. Saya pun bersyukur. Berarti kekhawatiran saya tidak terbukti. Namun yang mengejutkan adalah di hari-hari terakhir menjelang pernikahan, ia masih menelepon saya. Diangkat, nggak, ya? Saya sempat ragu-ragu tapi akhirnya saya angkat juga.

“Ukh, anti jangan marah. Saya pernah mengatakan pada calon istri saya saat ta’aruf; andaikan proses ini tidak bisa diteruskan, saya akan menikah dengan anti. Afwan bila saya lancang.”

Ia mengatakan seperti itu karena di awal ia dihadapkan pada keadaan kultur yang sedikit menjadi kendala. Marahkah saya? Entahlah. Yang jelas dari sini saya belajar kembali untuk lebih hati-hati dan tegas dalam berkomunikasi. Setidaknya santai dan ‘gaya slengekan’ harus diminimalisasi. Jangan sampai memancing atau menanggapi pertanyaan yang tidak perlu. Bagaimanapun semua ada batasnya.

Nah, kembali ke cerita awal.

“Lantas bagaimana, Mbak, saya harus mensikapinya? Untuk menolaknya? Saya sungkan dengan guru ngaji, saya?”

Saya hanya bisa menjawab dengan apa yang pernah saya baca. Teman-temannya menambahkan. Apakah laki-laki yang berani memanggil ‘Cinta’ kepada perempuan yang bukan mahramnya, bisa dikatakan laki-laki shalih meskipun ia berniat untuk menikahinya? Bukan-bukan seperti itu, Dik, batin saya.

Ingin kukatakan arti cinta kepadamu, Dinda..
agar kau mengerti arti sesungguhnya
tak terjebak dan terbawa harumnya asmara
akan membuat dirimu sengsara..

Saya jadi teringat salah satu nasyid SNADA. Entah berapa kali lagi kami harus belajar tentang cinta. Topik itu yang sampai kini masih menarik perhatian adik-adik saya. Cinta, cinta, dan cinta. Ending yang mereka inginkan adalah sampai proses pernikahan.

Seperti apa cinta suci menuju pernikahan?

Saya tak bisa banyak berkata-kata. Saya bukan pakar cinta. Yang jelas saya meyakini bahwa secara sunatullah, laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik dan sebaliknya. Bukan berarti kita menjadi lebih baik agar mendapatkan pasangan hidup yang baik. Bukan seperti itu. Namun barangkali itulah salah satu keajaiban cinta yang dihadiahkan-Nya untuk kita. Bahwa cinta akan berpihak dan bersinergi bagi orang-orang yang menjaga kesucian cinta kepada-NYA. Wallahu’alam.

Ngawi, 18 Februari 2008

1 komentar: