Tentang Kopi

tips membuat wedang teh (tea) dan kopi (coffee)

kami berdua

walimatul 'ursy timur tengah

Cinta Suci

Ingin kukatakan arti cinta kepadamu, Dinda.

berawal dari taaruf

Sore senja jingga menupuk tangan Indah nampak elok menyebar cakrawala bumi yang luas

Arkan Dian Husnayan

Mujahid Kecil Kami

Wednesday, August 27, 2008

tafakur menjelang ramadhan...





bismillahirrahmanirrahim...


Saudaraku,
Kehidupan ini bagaikan roda zaman yang terus berputar. Hari ini begini, besok entah bagaimana. Bersyukurlah mereka yang dapat mengerti hakekat kehidupannya, memaknai setiap detik waktunya, dan memanfaatkan setiap kesempatan yang ada ini untuk meningkatkan kualitas diri, amal serta ibadahnya.

Saudaraku,
Kita pernah bersimpuh di hadapan-NYA menuyusun sujud pada debu-debu-NYA yang gelap. Kita sulam kata pinta, kita rangkai kalimat doa, memohon agar dalam hidup ini kita diberikan segalanya yang terbaik, berharap IA tunjukkan jalan yang lurus, istiqomah di tengah fitnah, sabar di tengah makar, dan ikhlas menghadapi hidup yang keras. Kemudian air mata kita pun mengalir membasahi malam, sunyi, sepi…

Saudaraku,
namun hari ini kita lupa lagi dengan sebait pinta yang meluncur deras dari lisan kita yang penuh dosa. Lupa akan arti kehidupan, lupa akan perjumpaan dengan-NYA, lupa dengan azzam yang sudah lama tertanam, lupa akan sesuatu di mana kelak taksebait pun doa, tak sejurus sujud pun ada artinya, tak ada arti setiap tangis yang meringis. Kita kembali lupa entah apa penyebabnya, tanyakannlah pada hati kita yang paling dalam, apa yang terjadi dalam diri kiota, padahal setiap tahun selama sebulan kita menjalankan latihan, selama sebulan kita sering berjanji bahwa kita akan benar-ar taat dan tunduk pada ALLAH, bahkan kepergian bulan latihan itu membuat kita benar-benar merasa kehilangan. Namun semuanya hanyalah janji palsu kita, kita kembali melupakan Rabb kita, bahkan beberapa hari saja berlalu dari bulan itu kita sudah tidak memiliki lagi ruhul jihadnya, ada pa dengan diri kita, saudaraku?

Saudaraku,
waktu terus berlalu, detik demi detik telah kita lewati, hari demi hari pun telah kita lalui. Tidak terasa bulan berganti, tahun pun bertukar, sebentar lagi bulan suci Ramadhan akan kembali tiba. Akankah bulan itu menjadikan kita kembali fitri ataukah bulan penuh rahmah itu lewat begitu saja tanpa kita dapat menikmati sedikit pun kemuliaannya. Ataukah bulan Ramadhan itu hanya sekedar meramaikan agenda malam kita, tanpa pernah sedikitpun mendapatkan perubahan dari setiap kedatangannya. Ataukah sebait janji palsu akan kembali kita ucapkan pada sang Rabbi, berjanji akan kita lakukan sebuah perubahan mendasar dalam hidup kita namun senatiasa janji itu kita pungkiri, begitu silih berganti, entah sampai kapan dusta ini kita akhiri.

Saudaraku,
setiap tahun datang Ramadhan, bulan yang di dalamnya turun Al-Quran, bulan yang di dalmnya kita wajib berpuasa, sholat sunnah tarawih, dan keistimewaan malam lailatul qadar, yaitu malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan. Sungguh bulan ramadhan merupakan bulan yang penuh kemuliaan dan penuh keistimewaan. Dia dilebihkan atas bulan-bulan lainnya. Bulan Ramadhan adalah bulan jihad, bulan perjuangan untuk meningkatkan iman, dibutuhkan kesabaran dan keikhlasan menjalankannya.

Saudaraku,
ALLAH berfirman, “Bulan Ramdahna adalah bulan yang padanya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan menerangkan tentang petunjuk itu, serta pemisah antara yang haq dan yang batil.” (Q.S Al-Baqarah:185)

Saudaraku,
ayat ini menunjukkan kepada kita keistimewaan yang ada pada bulan ramadhan, yaitu pada bulan ramadhan itu Al-Qur’an diturunkan untuk memberi petunjuk pada kita tentang yang haq dan yang bathil sehingga menjadi petunjuk jalan bagi kita untuk mengarungi hidup ini. Jika Al-Qur’an tidak diturunkan tentu kita masih hidup dalam zaman yang penuh dengan kejahiliyahan. Pada bulan itu manusia diwajibkan berpuasa, menahan lapar dan dahaga, mengendalikan hawa nafsu serta melatih kesabaran. Puasa yang kita lakukan hanya diniatkan untuk ALLAH, tidak ada yang mengetahui ibadah kita kecuali diri kita sendiri dan ALLAH. Pada malam harinya kita melakukan shalat sunnah tarawih atau qiyamullail. Setelah itu pada sepuluh hari terakhir Ramadhan kita kan mendapati suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Tidak semua manusia yang bertemu dengan Ramadhan akan menjumpai malam kebaikan itu. Ramadhan sungguh suatu bulan yang sangat kita nanti-nantikan, jangan lewatkan keistimewaannya karena bisa jadi Ramadhan kali ini kita tidak berjumpa dengannya.

Saudaraku,
banyak manusia yang tidak dapat menikmati keistimewaan bulan penuh maghfirah tersebut. Kita sering tidak mengerti betapa bulan tersebut merupakan bulan yang dinanti-nantikan Rasul dan para sahabat dengan suka cita serta linangan air mata. Mereka selalu mempersiapkan ramadhan sehingga Ramadhan senantiasa memberikan arti dalam setiap kehidupan mereka. Ramadhan senantiasa dapat meningkatkan kualitas diri mereka. Bulan itu benar-benar mereka jadikan sebagai bulan latihan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada ALLAH SWT.

Saudaraku,
pernahkah kita merindukan datangnya Ramadhan, pernahkah kita berlinangan air mata ketika kita masih diberikan ksempatan mendapati Ramadhan, pernahkah kita merasakan betapa indahnya Ramadhan sehingga kita senantiasa merasa harap dan cemas ketika detik-detik menelang Ramadhan? Pernahkah kita meras kehilangan ketika ramadhan meninggalkan kita? Pernahkah, Saudarku?

Saudaraku,
akankah usia kita sampai pada Ramadhan kali ini, akankah kita dapat menjiwai maknanya. Akankah kita dapati malam yang lebih baik dari seribu bulan itu? Kita tidak pernah tahu kapan kita akan mengakhiri hidup ini, oleh karena itu tidak ada seorang pun yang akankah kita akan berjumpa dengan ramadhan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Saudaraku,
tidak ada yang bisa menjamin kita akan berjumpa dengan Ramadhan tahun ini. Tidak ada yang bisa menjamin kalau kita akan bertemu dengan Ramadhan kita akan mendapatkan kemenangan dengannya. Siapakah gerangan manusia yang beruntung bisa bertemu dengan Ramadhan dan ia mendapat kemenangan. Ia akan kembali fitri setelah sebulan menjalankan latihan. Latihan meningkatkan iman. Berlatih merasakan bagaimana jika kita setiap hari selama setahun tidak mendapatkan makan dan minum seperti sering dijumpai pada orang-orang miskin.

Saudaraku,
bulan Ramadhan adalah bulan istimewa sehingga kedatangannya selalu dirindukan. Kehadirannya selalu ditunggu dengan harap dan cemas. Berbahagialh mereka yang berjumpa dengan Ramadhan, beruntunglah mereka yang dapat memanfaatkan keistimewaan bulan Ramadhan tersebut untuk meningkatkan ibadahnya, ketaqwaannya dan melatih mengendalikan diri dari hawa nafsu yang pada bulan-bulan selain Ramadhan selalu membelenggunya.

Saudaraku,
kita harus mempersiapkan kedatangan bulan bahagia tersebut dengan suka cita dan harus kita sambut bulan barakah itu dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Kita harus mempersiapkan segala yang ada pada diri kita, agar ketika kita memasukinya kita benar-benar dalam keadaan siap menjalankan segala amaliah di bulan itu.

Saudaraku,
jangan biarkan Ramadhan berlalu begitu saja!!! Untuk itu kita harus mempersiapkan segala perbekalan yang diperlukan. Ada beberapa bekal yang harus kita miliki, yaitu kita harus mempersiapakan ruhiyah, fisik yang kuat, ilmu dan kesiapan harta. Semoga kita termasuk orang yang beruntung dapat menjumpai Ramadhan dan mendapatkan kemuliaan dan kemenangan di bulan tersebut. Amiin.
Wallahu a’lam bish-showab.

(ana tulis kembali dari kertas yg diberikan seorang saudara beberapa tahun silam. Semoga bermanfaat!)

Mohon maaf atas salah dan khilaf kami selama ini. Marhaban yaa Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Amin...

Wednesday, August 13, 2008

Episode Cinta II (AJARI ANAK-ANAK KITA CINTA)

AJARI ANAK-ANAK KITA CINTA


“Setiap pagi saya menyuruh anak saya untuk menyiram tanaman. Kalau terhadap tanaman saja ia mau memberi, saya berharap terhadap orang lain apalagi …”


Sebuah prolog yang membekas, yang disampaikan seorang Ustadz saat beliau memberikan kajian di sebuah kampus kecil itu masih saya ingat. Salah satu bukti cinta adalah pengorbanan, kita rela memberikan sesuatu yang kita miliki. Dan Ustadz telah mengajari cinta kepada anak-anaknya sejak mereka masih kecil. Ya! Cinta terhadap sesuatu di sekitarnya.

Cinta yang berkonotasi positif selalu beririsan dengan kebaikan. Ia yang disebut-sebut sebagai energi untuk melakukan kebaikan demi kebaikan. Cinta terhadap anak-anak menjadikan kita mengajarkan cinta kepada kebaikan sejak mereka masih kecil, bahkan sejak masih dalam kandungan. Dan percaya atau tidak, kebaikan yang kita ajarkan akan berbuah kebaikan pula. Bahkan kebaikan itu akan berlipat ganda. Itulah keajaiban cinta.

Saya jadi teringat akan dialog dengan sepupu kecil saya.
“Mbak, Rohma sudah selesai mengaji?” laporan sepupu saya yang masih kelas satu SD lewat telepon.
“O, ya? Sudah sampai juz berapa?”

“Juz 20, Mbak. 10 Juz lagi khatam. Rohmah udah khatam 2 kali, Mbak. Berarti sebentar lagi 3 kali, ya?”
“Siapa yang menyimak? Abi? Atau Ummi?” tanya saya.
“Nggak ada, Mbak. Mengaji sendiri.”

Subhanallah! Saya berdecak kagum dibuatnya. Saya tahu bacaan Al-Qur’annya sudah lancar, panjang pendek dan tajwidnya sudah betul. Bahkan dari kecil ia (juga) sudah dilatih mengucapkan huruf-huruf hijaiyah sesuai dengan makhrajnya. Maka tak heran, bila ia pun lebih gemar mengaji dan mendengarkan murratal daripada mendengarkan yang lain. Meskipun (tentu saja) ia juga masih bermain sebagaimana anak-anak seusianya. Itulah salah satu pelajaran cinta yang saya dapatkan. Bagaimana mengajari anak-anak cinta terhadap Al-Qur’an. Tentu saja orang tua harus bisa memberikan keteladanan yang baik. Begitu juga mengajari mereka ibadah keseharian, orang tua pun harus cinta menjadi ahli ibadah. Dan semuanya butuh ilmu. Butuh belajar dan latihan. Semua butuh pembuktiaan, sebelum kita mengajak anak-anak melakukannya.

Di kesempatan yang lain saya mendapat kabar dari Bulik, bahwa Rohma sekarang juga belajar menulis. Rupanya ia suka dengan salah satu buku yang saya beli dari Gramedia. Buku yang ditulis oleh Bella, pengarang cilik yang juga putri seorang penulis ternama.
“Semoga kelak jadi mujahidah bersenjata pena.” SMS saya pada Bulik, Ibu dari sepupu saya itu.
“Amiin. Ya MBet, ini dah dapat 3 buku kecil-kecil. Mau dibeli Abi katanya. Lumayan bisa buat beli kue atau dimasukkan celengan. He…”
Alhamdulillah!

Tak sia-sia saya membelikannya buku. Buku yang menginspirasinya untuk berimajinasi dan menulis. Namun itu hanya salah satu pemantik saja. Sebelumnya, orang tuanya telah mengajarinya tentang cinta. Kali ini tentang cinta membaca. Tanpa aktivitas itu mana mungkin seorang anak kecil (bahkan kita) berkeinginan untuk menulis.

“Katanya, tulisan Rohmah mau dibuat buku untuk dijual seribuan kepada teman-teman sekelasnya.”
Wuiih! Sudah sejauh itukah keinginan anak kelas satu SD itu? Saya hanya tersenyum mendengarnya. Bayangkan, jika orang tua kemudian tidak memberikan dukungan terhadap keinginannya! Yang terjadi (barangkali) adalah ide-ide kreatif sang anak kemudian akan terhenti. Dan kalau rencana sepupu saya itu benar-benar direalisasikan, maka ia pun telah mengajak temannya untuk belajar cinta. Cinta membaca dan bisa jadi juga cinta menulis.

Itu adalah sedikit dari pelajaran cinta yang saya dapatkan dari anak kecil. Begitu banyak nilai-nilai kebaikan dalam agama kita yang mestinya memang harus diinternalisasikan pada anak-anak kita sejak kecil. Namun sudah cukupkah kita punya cinta yang memadai terhadap segala kebaikan? Cinta yang kita ajarkan adalah cinta yang sudah harus kita miliki. Bukankah kita tak mungkin memberi apa yang tidak kita miliki?...

***

Wednesday, August 06, 2008

Episode Cinta I (Untuk Kebahagiaan yang Sederhana)

Untuk Kebahagiaan yang Sederhana

by: Fathimatul Azizah

Suatu hari ada gadis yang berkata, “Siapa bilang aku sedih? Aku kan selalu bahagia.”
Atau di saat yang lain ia bilang, ”Gak pa-pa. Yang penting, kan bahagia.”
Ya semoga.


Saya tak pernah menduga ada sahabat yang me-replay kata-kata itu. Bahkan, ia menuliskannya pada salah satu lembar buku saya. Sebentuk senyum pun mengembang. Saya berterimakasih dan tersanjung dengan perhatiannya. Ya! Ia hapal dengan kata-kata saya. Kata-kata yang seringkali saya ucapkan untuk menetralisir hati bila tiba-tiba kesedihan menghunjam dalam.

Betapa memiliki sahabat adalah anugerah terindah dalam hidup. Memiliki banyak sahabat memberikan inspirasi tiada bertepi. Inspirasi apa saja? Rasanya tak mungkin saya mampu menuliskan semua inspirasi dari sahabat dalam catatan kecil kali ini.
Suatu hari ada sahabat yang mengirim SMS:


Berakhlakul karimah cermin ahlul jannah…
Sekali melangkah pantang menyerah
sekali walimah harus sakinah mawaddah wa rahmah…
renungan ini mudah-mudahan bisa jadi inspirasi*.


SMS itu awalnya saya anggap sebagai sebuah guyonan. Namun, ketika kata demi kata saya baca kembali, sebentuk senyum pun mengembang. Ya! Ada harapan yang sama sekali bukan guyonan. Saya mampu menangkap ketulusannya.

Saya diajak untuk bermuhasabah; menyapa kabar keimanan hari ini. Ah, tak ada kalimat lain yang keluar kecuali kejujuran: saya bukan apa-apa. Saya masih begitu payah. Bahkan, akhlak saya sebagai muslimah masih sangat jauh dari standar ideal. Meski hari masih pahit, semoga di masa mendatang saya menemukan manisnya proses perbaikan diri.
Saya membuka kembali shirah jihadiyah.

Yang kau takutkan adalah yang kau inginkan, bukan?

Retoris –khas- Ustadz Hatta yang menyetir kata-kata Abdullah bi Rawahah dalam perang Mu’tah kembali terngiang. Saya menata hati untuk mempersiapkan kehidupan yang lebih baik. Hmh... terlalu abstrak, ya? Kalau ketahuan teman SMA, pasti kena semprot lagi. Belum lama ini, ia bertanya,

”Baiti, dikau sedang sibuk apa?”
”Mempersiapkan masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.”
”Ah, jawaban klise bersayap”

Saya jadi teringat dengan pertanyaan Mbak Izzatul Jannah dalam sebuah kajian di Nurul Huda pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, ”Ketika meninggal dunia, kau ingin dikenang sebagai apa?” Pertanyaan sederhana itu sengaja diberikan sebagai pemantik. Itulah landasan operasional untuk menentukan visi hidup seorang yang berkeinginan menjadi pejuang.

Saya tercenung ketika nama shahabiyah dipaparkan satu demi satu. Disusul kemudian nama para muslimah yang unggul di bidangnya dan turut menyebarkan harumnya Islam. Ayolah..begitu banyak pilihan terhampar! Jawablah dengan sebenar keyakinan. Sebab, itulah yang akan mewarna dalam lintasan pikiran kita.

”Jadi, ketika kau mati, kau ingin dikenang sebagai apa?”
hMh... Hmh... jawaban yang saya berikan masih terlalu general : saya ingin menjadi orang yang bukan hanya dicintai tetapi layak untuk dicintai. Artinya, saya tak ingin orang lain berprasangka baik terhadap saya, sedang keadaan saya tidaklah demikian. Jadi, masih butuh proses yang sangat panjang mempersiapkan masa depan untuk kehidupan yang lebih baik, di dunia dan akhirat.

Solo, 10 Juni 2008: menjelang Subuh